TIDAK ada yang memungkiri bahwa peristiwa Merapi merupakan peristiwa yang mengerikan. Tidak ada yang menolak bahwa peristiwa Merapi memberikan ketakutan kepada warga di sekitarnya. Tetapi, peristiwa Merapi yang sama dapat menjadi sebuah pengalaman transformatif jika direnungkan dengan baik.
Itulah salah satu kesimpulan dalam bedah buku ‘Dahsyatnya Merapi Tak Sedahsyat Cinta-Mu’ di aula Seminari Tinggi St Paulus Kentungan Yogyakarta, Sabtu (26/2) lalu. Acara tersebut menghadirkan Rm Hari Kustono, Pr dan Nasarius Sudaryono, MA sebagai narasumber dan moderator Rm Kristi Adi, Pr.
Dalam pemaparannya Rm Hari Kus menjelaskan tentang proses terbitnya buku ini. Segalanya dimulai dengan keputusan pihak Seminari Tinggi dan Fakultas Teologi Wedabhakti untuk membuka posko pengungsian bagi para pengungsi Merapi. Posko yang dibuka dari tanggal 5-25 November 2010 tersebut memberikan banyak pengalaman bagi para romo, para frater maupun para relawan yang membantu di posko tersebut. Karena kekayaan itulah, refleksi dari semua yang terlibat dalam posko pengungsian dikumpulkan serta diterbitkan dalam bentuk buku ini.
Kaya cerita
“Semuanya terkumpul 116 karangan dengan berbagai bentuk. Syukurlah bahwa di antara karangan-karangan tersebut tidak ada yang sama sehingga dapat menjadi kekayaan bersama. Karangan-karangan tersebut kemudian diedit dan diterbitkan dalam buku ini,” papar Rm Hari Kustono.
Sementara Nasarius menyampaikan hasil pembacaannya terhadap buku tersebut. Menurutnya, buku ini memberikan kisah yang komplet mengenai posko pengungsian di seminari. Kisah-kisah tersebut tidak hanya sekedar kisah, tetapi memuat refleksi dan transformasi dalam pola pikir serta perkembangan pribadi. Baginya, buku ini menyajikan sebuah permenungan komplet tentang posko pengungsian tersebut. “Saya yang tidak terlibat dalam posko pengungsian Seminari Tinggi, ikut merasakan suasana posko itu ketika membaca buku ini,” paparnya.
Dalam acara tersebut, hadir pula para pengungsi yang dulu sempat tinggal di posko pengungsian selama 3 minggu. Salah satu pengungsi, yaitu Belarianta, mengatakan bahwa posko pengungsian di Seminari Tinggi memberikan kedamaian dan ketenangan. Dalam refleksinya Bela menyatakan bahwa kedamaian dan ketenangan tersebut menjadikan dirinya merasakan Kerajaan Allah di posko tsb. (V Yudho Widianto-Seminari Tinggi)