Selasa, 14 Juni 2011

Imam Projo dan Biarawan, Sama?

Setelah menghadiri tahbisan Imam Projo di Kapel Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta, Emon bingung dengan status Romo Projo. Ia pun berkeluh kepada Ronald, “Aku denger Romo Projo itu bukan biarawan. Koq gitu ya? Setahuku seorang romo itu ya biarawan.“ Ronald setengah gak percaya menjawab, “Ah, mosok seh.”
Keheranan Emon dan Ronald, bisa jadi juga dialami oleh umat Katolik lainnya. Bedanya Eman dan Ronald mempertanyakannya di antara mereka berdua.
Sebagai seorang Imam Katolik, tidak ada perbedaan antara imam projo dan imam biarawan. Imam Katolik mengucapkan janji setia untuk selibat, kesahajaan hidup, dan taat kepada Uskup.  Namun Imam Projo bukanlah seorang biarawan.  Lalu apa beda keduanya?
Seorang imam biarawan (ada yang menyebutnya: religius) adalah anggota dari suatu ordo/kongregasi atau lembaga religius, seperti SY, MSF, OCSO, dll. Suatu lembaga religius adalah suatu serikat yang dibentuk Gereja dengan suatu spiritualitas atau semangat hidup tertentu dan untuk melaksanakan suatu karya tertentu pula.
Imam Projo, Imam Diosesan.
Setiap ordo biarawan memiliki konstitusi sendiri, dan para anggotanya hidup menurut suatu konstitusi tersebut. Para imam biarawan ada yang berkarya sebagai pastor rumah sakit, memberikan retret, mengajar, pembicara, pastor paroki, misionaris dan di berbagai bidang lainnya. Setiap ordo memiliki karisma tersendiri. Mereka membawa karisma itu ke dalam karya mereka.
Seorang imam religius mengucapkan kaul kemurnian, ketaatan dan kemiskinan. Mereka tidak diperkenankan memiliki harta pribadi, meski menerima gaji dari pelayanan. Biasanya, imam biarawan tinggal bersama sejumlah imam atau bruder dari ordonya. Pelayanan ordo kepada Gereja dapat melintasi batas-batas keuskupan: ia dapat diutus ke manapun ke pelosok dunia di mana ordonya berkarya. Sebaliknya, seorang imam projo, pada umumnya melayani sebatas wilayah keuskupan di mana ia ditahbiskan. Seorang imam projo tidak mengucapkan kaul.

Imam projo
Projo selalu ada bersama umat.
Seorang Imam Projo (Diosesan) pada dasarnya adalah seorang Imam Paroki. “Diosesan” berasal dari kata Yunani yang berarti “menata rumah”. Kata Yunani “paroki” berarti “tinggal dekat.” Seorang Imam Projo adalah seorang imam yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari umat. Ia “tinggal dekat dengan umat” dalam segala hal, dan membantu uskup setempat untuk “menata rumah” dalam keluarga Allah, entah sebagai seorang pastor pembantu atau pastor kepala paroki. Namun demikian, Imam Projo juga melayani bidang lain, seperti pengajaran, kemahasiswaan, pastor di rumah sakit, di pangkalan militer, atau di penjara, dll.
Sebagian besar imam di seluruh dunia adalah imam diosesan. Mereka ini ditahbiskan untuk berkarya di suatu diosis (= keuskupan) atau di suatu arki-diosis (= keuskupan agung) tertentu. Seorang imam diosesan merupakan bagian dari satu presbiterium (dewan imam), yang beranggotakan para imam dari suatu diosis/arki-diosis yang sama, dan karenanya berada di bawah kepemimpinan uskup yang sama.
Saat ditahbiskan sebagai diakon (sebelum tahbisan imamat) mereka berikrar setia untuk menghormati dan mentaati uskup diosesan dan para penerusnya. Mereka juga berikrar untuk hidup dalam kemurnian, sesuai dengan status klerus mereka (termasuk hidup bersahaja). Secara teknis, projo tidak mengucapkan kaul dan tidak berikrar kemiskinan. Selain itu ia juga berikhrar setia kepada uskup. Dengan demikian mereka menginkardinasi diri ke dalam keuskupan. Ini mendatangkan hak-hak tertentu bagi mereka, dan mengenakan kepada mereka kewajiban untuk berkarya bagi gereja diosesan di bawah kepemimpinan uskup. win

Adorasi, Satu Jam Penuh Kuasa

Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan-Ku? Pertanyaan Yesus ini ditanyakan sekali lagi oleh Rm Patrick Joseph Barry kepada empat ratusan peserta Rekoleksi Adorasi Abadi di Sukasari, Katedral, Sabtu (12/3).
Rm Patrick jauh-jauh datang dari Perth, Australia, ke Semarang dalam rangka memberikan arti dan makna mendalam dari Adorasi Sakramen Mahakudus. Dengan didampingi dua penerjemah, ia tampak begitu semangat. Rekoleksi yang diadakan oleh Bidang Liturgi Dewan Paroki Katedral ini, dihadiri pula oleh Rm FX Sukendar Pr selaku pastor kepala paroki Katedral yang didaulat membuka acara.
Ekaristi Kudus atau Sakramen Mahakudus adalah Yesus sendiri yang memberikan tubuh dan darah-Nya, Sakramen Mahakudus, saat Kamis Suci Malam yang pertama,” papar Rm Patrick. Lanjutnya, setiap misa yang diadakan oleh Gereja Katolik, roti dan anggur melalui melalui perkataan Yesus dan penyertaan Roh Kudus, diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
Paus Yohanes Paulus II menuliskan di dalam keheningan di depan Sakramen Mahakudus, bahwa Kristus benar-benar hadir seutuhnya; Tuhan yang kita temukan, yang kita sembah dan dengan siapa kita dapat berelasi. Melalui adorasi atau penyembahan kepada Sakramen Mahakudus, kita menyatakan cinta kita dan persahabatan kita kepada Yesus.
Masih menurut Yohanes Paulus II, kedekatan pada Kristus dalam keheningan dan kotemplasi tidaklah menjauhkan kita dari keadaan kita saat ini, tetapi sebaliknya membuat kita menjadi penuh perhatian dan terbuka pada sukacita manusiawi dan mengalami kelegaan serta memperluas hati kita pada skala dunia.
“Melalui penyembahan, orang-orang Kristen secara diam-diam memberikan perubahan dunia yang radikal dan menebarkan Injil,” tutur Rm Patrick menyitir pesan Paus. Hal ini diteguhkan oleh Yesus kepada St Faustina, ‘Aku ingin penyembahan/adorasi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan bagi dunia’.

Duduk diam saja
Rm Patrick Joseph Barry
Perhatian peserta semakin tertuju kepada kata-kata Rm Patrick, terlebih ketika ia menceritakan kisah di negara Kazakstan. Ada gadis yang mengalami depresi dan kini sedang ditangani oleh seorang psikiater. Keduanya seorang muslim. Setelah beberapa kali konseling, dan tiada hasil, si psikiater menyatakan diri tak sanggup. Sebaliknya, ia menganjurkan si gadis untuk berdiam diri di sebuah kapel yang ada di seberang tempatnya praktek. “Silakan kami duduk diam selama satu jam di dalam kapel itu,” anjur psikiater. Si gadis pun protes, “Untuk apa aku ke situ? Apa yang harus aku lakukan?”
Sekali lagi si  psikiater berkata, “Sudahlah, pokoknya kamu duduk saja di dalam kapel itu selama satu jam.”
Si gadis itu karena terobsesi ingin segara sembuh, ia menuruti saja perintah psikiater. Ia masuk kapel dan duduk di bangku kapel. Ia duduk saja dengan pikiran ke mana-mana, sedang di depannya bertahta Sakramen Mahakudus. Beberapa orang juga ada di hadapan Sakramen itu. Meski gelisah, si gadis berusaha bertahan, sampai waktu satu jam terlalui. Ia pun pulang ke rumah. Dan alangkah terkejutnya ia, ketika sampai di rumah. Ia merasakan bahwa dirinya sudah sembuh dari rasa depresi. Ada kelegaan dan sukacita. Ia pun bersaksi kepada si psikiater bahwa ia sudah sembuh.
“Inilah bukti nyata, bahwa Sakramen Mahakudus itu begitu berkuasa. Bahwa duduk di hadapan Sakreman Mahadukus itu tak hanya sekedar duduk, namun sunguh-sungguh menerima aliran Illahi. Siapapun orangnya akan menerima, termasuk orang Muslim,” ungkap sang Romo.

Kejahatan makin menurun
Lalu seorang peserta bertanya, “Mengapa Adorasi Ekaristi Abadi itu diperlukan?”
Rm Patrick pun menjawab. Ketika kita membatasi jam-jam adorasi, kita membatasi kemampuan Kristus untuk umat-Nya. Hanya sedikit yang dapat menanggapi undangan Tuhan ‘Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?’, bila kita hanya memiliki satu jam atau beberapa jam adorasi setiap minggu. Semakin banyak kita menyediakan waktu, maka semakin banyak umat berkesempatan untuk beradorasi. Bila kapel atau gereja dibuka sepanjang hari, maka setiap umat mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi hadir. Karena syarat Sakramen Mahakudus ditahtakan sepanjang waktu, adalah bila ada yang menjaga-Nya sepanjang waktu itu.
Namun, apakah pentahtaan sepanjang hari tidak mengundang hal-hal yang berbahaya?
Banyak imam yang telah menyaksikan bahwa sejak Adorasi Ekaristi Abadi mulai diadakan, maka tingkat kejahatan di daerah itu makin menurun. Bahkan Rm James Swenson dari gereja Katolik St Bridget, Las Vegas, bersaksi demikian, “Persis di depan gereja kami terdapat daerah pelacuran dan perjualan narkoba. Ketika adorasi abadi sakramen Mahakudus mulai dilakukan, semua kegiatan tersebut berhenti. Ketika Tuhan di dalam Sakramen Mahakudus ditahtakan di atas altar, kejahatan meninggalkan daerah itu. Saya yakin akan hal itu.”
Dari kegiatan Rekoleksi Adorasi Abadi ini diharapkan umat menjadi semakin menghormati Sakramen Mahakudus. Dan pada gilirannya nanti di Kota Semarang dapat didirikan kapel Adorasi Ekaristi Abadi, dimana setiap orang dapat mengunjungi setiap waktu. Tentunya partisipasi setiap umat sangat diharapkan demi terwujudnya cita-cita ini. # Blk

Sabtu, 07 Mei 2011

Pertapaan Rawaseneng: Hidup Dalam Puji-Pujian

Hujan membasahi bumi ketika Tim Salam Damai menapakan kaki di pelataran Pertapaan St Maria Rawaseneng, kecamatan Kandangan, kabupaten Temanggung. Udara dingin menyengat kulit. Keheningan alam pudar oleh desarnya hujan.

Tujuh kali sehari beribadat bersama.
Seorang pertapa muda, Fr Agustinus OCSO, yang berjubah dan bersandal jepit, menyambut kami dengan senyum dan jabat tangan hangat. Setelah berbincang sejenak, rahib (pertapa) muda itu mengajak Salam Damai untuk mengikuti Ibadat Sore, kala jarum jam menunjuk pukul 14.30.
Tatkala pintu kapel dibuka, sayup-sayup terdengar alunan kidung Gregorian. Hati terasa teduh serasa memasuki pelataran surgawi. Kidung Mazmur dilantunkan sahut menyahut oleh tiga puluh empat rahib, sore itu. Satu bagian di sebelah kanan, bagian lain di sebelah kiri, saling berhadapan; bagai Serafim dan Kerubim yang memuliakan Allah.
Ya, puja-puji itu seolah-olah mampu menembus dinding beku kapel, sealur dengan kertap dedaunan kopi, lenguh sapi peternakan, menjauh dan menyelubungi pepohonan pinus di sekitar pertapaan.
Pertapaan Rawaseneng yang terletak 14 km sebelah utara Temanggung ini, merupakan bentuk hidup kerahiban yang menjadi salah satu kekayaan Gereja Katolik, khususnya Keuskupan Agung Semarang. Para rahib di sini adalah anggota Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau sering disebut Ordo Trappist. Ordo ini menjalani kehidupan monastik (kerahiban) menurut Peraturan St Benediktus. Cikal bakal ordo dimulai dari desa kecil Citeaux, di Perancis, pada akhir abad ke-11.
Pertapaan Rawaseneng sendiri berdiri pada tanggal 1 April 1953. Rahib awali berasal dari komunitas OCSO Koningshoeven, Tilburg, Nederland. Ada empat rahib pionir (3 imam dan 1 bruder) yang memulai pertapaan ini.
Kini ada 34 rahib menghuni di sini, tujuh di antaranya adalah rahib imam. Pemimpin pertapaan ini disebut Abbas (Latin) artinya ‘bapak’ atau sering disebut Romo Abbas. Saat ini Romo Abbas dipangku oleh Aloysius  Gonzaga Rudiyat OCSO.
Hidup harian para rahib dilakoni dengan doa dan karya; ora et labora. Rutinitas pertapaan dimulai pukul 03.15 dini hari dengan bangun pagi. Tepat pukul 03.30 lonceng gereja berdentang pertanda Ibadat Bacaan dimulai. Selanjutnya meditasi, lectio divina, ibadat pagi, dan perayaan ekaristi, hingga pukul tujuh pagi.
Ada jeda satu jam untuk sarapan dan keperluan pribadi. Pukul delapan kumpul kembali di kapel untuk ibadat siang I. Antara pukul 08.30-11.30 merupakan saat untuk labora atau kerja. Ada yang di kebun, peternakan, kamar tamu, toko rohani, dapur, dll. masing-masing sesuai dengan tugasnya.
Tengah hari, pukul 12, kekasih-kekasih Kristus ini mengidungkan kembali pujian kepada Allah dalam ibadat siang II. Menyusul kemudian makan siang dan istirahat. Namun, pukul 14.30 suara rahib ini sudah menggema lagi sampai ke langit-langit rawaseneng, dalam ibadat sore. Ada waktu satu setengah jam ke depan untuk bekerja dan keperluan pribadi hingga pukul 16.30.
Lectio Divina atau bacaan rohani satu jam dan meditasi setengah jam dilakukan para rahib sampai saat makan malam pukul 18.20. Setelah itu bersama menutup aktivitas harian ini dengan ibadat penutup pada pukul 19.45. Selanjutnya, waktu pribadi dan beristirahat.
Semua aktivitas dilakukan dalam keheningan atau silensium. Tanpa kata, supaya hati tetap terarah kepada Sang Pencipta.
Jubah para rahib ini begitu khas. Jubah dasar berwarna putih. Di sebelah depan dan belakang dikenakan kain berwarna hitam yang melintang di bahu, mirip kasula, yang disebut Skapulir. Skapulir ini lambang perlindungan Bunda Maria, dan menjadi ciri busana kerahiban. Skapulir berasal dari kata Latin ‘Scapula’, yang artinya ‘bahu’. Di bagian leher skapulir terdapat kain tutup kepala yang digunakan saat meditasi.

Produksi
Tujuh ratus liter susu per hari.
Para rahib Rawaseneng memiliki beberapa karya yang khas, yaitu peternakan sapi, perkebunan susu, dan pengolahan keju. Saat ini setidaknya ada 150 ekor sapi yang dimiliki, 70 diantaranya untuk produksi susu. Sapi-sapi ini berasal dari Belanda dan Australia. Ada sekitar 700 liter susu dihasilkan dari peternakan ini. Pemerasan susu dilakukan pada pagi dan sore hari. Sebagian produksi susu dikirim ke para pelanggan, seperti rumah sakit, biara, atau keluarga-keluarga.
Masing-masing memiliki nama, ada yang Lidia, Elisabet, Fransiska, dll. Pemberian nama ini dilakukan untuk mengetahui silsilah keturunannya. Supaya tidak terjadi kawin campur sedarah atau seketurunan; hal ini untuk menghindari kualitas sapi yang dihasilkan.
Sebagian lagi diproduksi untuk pengolahan keju. Keju Rawaseneng terkenal berkualitas. Kualitasnya ditentukan oleh waktu pengolahan yang cukup panjang, yaitu sekitar 3-4 bulan. Keju ini menjadi bahan olahan campuran roti-roti rawaseneng, seperti kastengel.
Dari 178 hektar luas pertapaan, 100 hektar diantaranya untuk lahan perkebunan. Lahan ini untuk tanaman kopi, cengkeh, dan palawija lainnya. Lahan sisanya untuk hutan lindung.

Kunjungan
Genta penanda.
Saat Salam Damai berkunjung, sedang dilakukan proses renovasi kapel dan kamar penginapan tamu. Kini kapel menjadi lebih luas, terutama untuk bangku para tamu lebih banyak sehingga bisa menampung banyak umat yang datang.
Kamar penginapan bagi tamu yang ingin bermalam pun diperbanyak. “Rencananya 40 kamar lagi,” ungkap Fr Agustinus, bagian receptionis. Pengembangan ini dilakukan supaya dapat melayani umat yang datang secara lebih baik, imbuhnya.
Masih menurut Fr Agus, pertapaan terbuka untuk siapa saja, apapun agamanya. Pernah ada tamu dari umat Kristen, Islam, juga Hindu. Rawaseneng juga menerima tamu rombongan, asal tak lebih dari 20 orang. Namun, sebelumnya sebaik menghubungi dulu bagian receptionis, untuk menentukan ada tidaknya tempat.
Bagi yang berniat mengunjungi pertapaan, silakan kontak ke bagian tamu: 081328882028, antara jam 08.30-11.30 dan 15.00-16.30. (blk)

Tepung Mata Beras: Kaya Vitamin dan Mineral (Wirausaha)

ADA gula ada semut. Peribahasa ini sepertinya pas dikenakan untuk usaha Florentina Tribangun (65). Awalnya, ia hanya mengonsumsi sendiri tepung mata besar, buatannya. Namun, ketika orang-orang di dekatnya mengetahui manfaatnya, mereka datang untuk membeli.

Bergulat dengan tepung mata beras organik, bagi umat paroki St Maria Fatima, Magelang ini, bukanlah hal yang baru. Semua berawal dari lokakarya Hari Pangan Sedunia tahun 1993 dengan ‘Kembali ke Alam’ di Boyolali. Kala itu ia masih memangku ketua WKRI Kevikepan Kedu. Dengan lokakarya ini, perempuan yang berhobi tani ini, seakan sadar bahwa segala olah pertanian, termasuk menanam padi itu harus kembali ke alam. “Sejak saat itu saya mengubah cara tanam saya dari konvensional kepada organik,” ungkapnya di rumahnya di Jl Kebonsari I/8, Magelang.
Florentina T atau Bu Djuwahir
Ada tiga alasan mengapa Bu Djuwahir, sapaannya, menanam padi secara organik. Pertama, sebagai umat Katolik ia terpanggil untuk turut melestarikan lingkungan alam. Kedua, dengan organik ia berharap hasil produksinya dapat benar-benar bermanfaat bagi semua orang. Dan selanjutnya, ia ingin mencari nafkah dan memberikan makanan sehat bagi keluarganya. Ia hanya menggunakan pupuk Kascing dari Rm Tan, dan pupuk sisa olahan jamu.
Setelah memastikan bahwa beras hasil pertaniannya sungguh-sungguh organik dan masyarakat mengakuinya, baru pada tahun 2007 ia mencoba mengolah beras organik menjadi tepung mata beras. “Awalnya sih untuk konsumsi sendiri,” imbuhnya.
Lalu mengapa ‘mata beras’? Apa itu mata beras?

Kandungan mata beras
Selain karbohidrat, beras juga mengandung protein, vitamin, dan mineral. Vitamin yang dikandung oleh beras yaitu Vitamin B-1 (Tiamin) banyak terdapat pada bagian kulit arinya (Bekatul). Sayangnya kandungan gizi beras tersebut seringkali hilang akibat proses penggilingan (dislep). Karena itu diperkirakan beras yang dikonsumsi sehari-hari telah mengalami penurunan kandungan gizi. Hal ini diperparah saat beras dicuci terlalu lama ketika akan dimasak.
Mata Beras adalah bagian kedua setelah kulit padi atau calon lembaga kulit. Orang biasa menyebutnya ‘pecah kulit’.Untuk mendapatkan mata beras, maka penggilingan dilakukan satu kali saja, untuk membuang kulitnya. Kandungan gizi kulit beras 29%, mata beras 66%, dan isinya 5%.
 Mata Beras tidak hanya kaya vitamin dan mineral, namun juga tinggi kandungan seratnya yang bermanfaat dalam proses pencernaan makanan dan mencegah terjadinya proses keganasan dalam usus. Hal ini menjadikannya sebagai 100% makanan alami.
Manfaat Mata Beras antara lain, menurunkan Kadar Gula dalam Darah (Diabetes), menurunkan Kolesterol & Trigliserida, mengatasi keluhan asma, batuk & radang lambung, asam urat, lambung, dan masih banyak lagi.
Sebelum secara resmi memulai usahanya, Bu Djuwahir melakukan uji laboratorium terlebih dahulu untuk memastikan secara klinis kualitas usahanya. Selain itu ia melengkapinya dengan ijin dari Departemen Perdagangan dan Industri.

Proses
Proses penggilingan.
Proses produksi dimulai dari penggilingan (slep) padi. Padi dislep satu kali supaya menghasilkan butiran mata beras. Proses selanjutnya adalah sangrai mata beras selama 1 ¼ jam. Satu jam menggunakan api besar, 10 menit dengan api kecil, 5 menit terakhir pendinginan. Tujuan sangrai adalah supaya butiran beras menjadi kering dan mudah ditumbuk. Proses sangrai dilakukan oleh mesin sangrai.
Proses berikutnya adalah penghalusan atau penumbukan. Proses ini berfungsi untuk menghasilkan tepung mata beras. Untuk 1 kg mata beras setelah digiling akan menghasilkan sekitar 8 ons tepung mata beras.
Sebelum masuk dalam pengemasan plastik, tepung diayak atau disaring. Tujuannya supaya tepung yang dikemas benar-benar halus dan siap dikonsumsi. Tepung ini selanjutnya dikemas per 300 gr. Dan tepung yang diberi label ‘Padma’ ini pun siap dipasarkan. Meski terbilang usaha baru, namun produksinya dapat dijumpai di Yogyakarta, Magelang, dan Semarang.
Selain tepung mata beras, Bu Djuwahir juga memproduksi tepung mata beras merah dan hitam, bekatul beras merah (dan putih) organik, tepung susu kedelai organik, tepung susu kacang hijau organik, beras organik. Semua produksi ini dapat diperoleh di Kebonsari atau via nomor (0293) 363693. # blk

Untung: Allah Menghidupi Anak-Anak (Pengalaman Iman)

Untung dan isteri setia melayani anak-anak.
DI hadapan Kardinal Yustinus Darmoyuwono, awam ini berikrar setia kepada Gereja untuk setia pada panggilan merawat setiap anak yang dipercayakan kepadanya, untuk tidak mencari harta demi diri sendiri, dan setia kepada ajaran-ajaran Gereja. Awam ini adalah Al Untung Sudono (61).
Ikrar yang ia ucapkan pada tahun 1978 itu merupakan ikrar untuk setiap mengurusi anak-anak panti asuhan Wikrama Putra yang ia kelola. Kardinal waktu itu berkata, “Di sini aku serahkan kekayaan yang tak ternilai ini kepadamu seumur hidup.” Berat memang ikrar yang ia ucapkan, namun ia sadar bahwa itulah panggilan hidupnya.
Selama delapan tahun sudah ia turut mendampingi anak-anak panti bersama dengan Rm HC Van Diense SJ, pendiri panti. Malah sejak masa ia menuntut ilmu di bangku kuliah. Banyak suka duka mendampingi anak-anak. “Pada awalnya pernah kami menampung 5 anak, tapi esok harinya malah kabur semua,” ungkapnya sambil tersenyum.
Pernah pula ada pengalaman ia mencari anak bayi yang dibuang oleh orang tuanya. “Sore itu saya ditelepon oleh seorang Suster dari Yogya,” tutur Untung. Suster itu bercerita bahwa anak bayi yang dibuang dan diberikan kepada tukang becak di stasiun kereta. Orang tua si bayi adalah pasangan mahasiswa yang belum siap menerima kehadiran buah cintanya.
Malam itu juga Untung ke Yogya untuk mencari si bayi. Pukul 2 dini hari ia mencari keberadaan si bayi. Untunglah si bayi bisa ditemukan oleh Untung. Segera bayi itu diminta dari tukang becak, seraya memberikan beberapa lembar uang kepada penarik becak itu.
Pengalaman lain yang begitu mengesan di hati Untung adalah ketika Rm Diense meninggal dunia. Saat itu 19 Maret 1985, ketika Rm Diense terbaring di RS St Elisabeth Semarang untuk persiapan operasi besar. Sore hari Untung membezuknya.
Dalam pertemuan Rm Diense mengatakan bahwa kalau operasi yang ia jalani berhasil, ia akan 10 tahun lebih muda. Namun jika gagal, umurnya hanya 3 hari. Mendengar perkataan tersebut, Untung sontak bertanya, “Lalu bagaimana dengan anak-anak panti? Bagaimana masa depannya?”
Rm Diense malah mengatakan, kalau ia meninggal itu malah lebih baik. Ia pun berjanji, kalau di surga ia akan mengirimkan makanan dan uang. Ia akan mengetuk hati banyak orang untuk membantu anak-anak panti. Untung hanya mengangguk-angguk. Dalam perjalanan pulang ia berusaha menepis keraguan hatinya dan mempercayai janji Rm Diense itu.
Dan tiga hari sesudahnya, 22 Maret, ada berita bahwa Rm Diensi meninggal dunia.  Dan dimakamkan di Girisonta. Untung bersedih.

Menagih janji
Sebulan berlalu. Untung menerima laporan dari bagian keuangan kalau dana menipis dan beras sudah habis. Tanpa berpikir panjang, Untung siang itu pergi ke Girisonta untuk menagih janji Rm Diense. “Romo, saya ke sini menagih janji. Beras di panti habis,” tuturnya mengenang.
Sore hari ia kembali ke panti. Matanya terbelalak melihat ada sepuluh karung berisi beras. Jadi totalnya satu ton. Ia berusaha menanyakan kepada para penghuni panti. Tapi hingga saat ini tak ada jawaban tentang hal ini.
Sejak saat itulah Untung semakin percaya bahwa Allah akan menghidupi anak-anak panti. Hingga kini, panti tak pernah membeli beras. Selalu saja ada yang memberi. Tuhan memelihara melalui banyak tangan orang baik.
Kini ia dengan isteri tercinta yang telah pensiun, bersama-sama mengurus kehidupan anak-anak dengan hati yang mantap. (Jhanto)

Doa Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 2011-2015



Allah Bapa yang Mahakuasa, kami bersyukur kepada-Mu atas penyertaan-Mu dalam gerak langkah umat-Mu di Keuskupan Agung Semarang untuk menghadirkan Kerajaan Allah secara lebih signifikan dan relevan bagi Gereja dan masyarakat
Utuslah Roh Kudus-Mu, agar dengan iman yang semakin mendalam dan tangguh, kami dapat berperan aktif dalam mengembangkan habitus baru berdasarkan semangat Injil, di tengah masyarakat kami di Indonesia.
Dalam tata penggembalaan yang mencerdaskan dan memberdayakan serta memberikan peran pada berbagai karisma semoga terciptalah pengembangan umat Allah, yang memberi tempat bagi optimalisasi kaum awam, yang mewujudkan iman secara berkesinambungan dan terpadu, yang memberdayakan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel, dan yang semakin melestarikan keutuhan ciptaan.
Bersama Santa Maria, hamba Allah dan bunda Gereja, teladan kesetiaan dan kerendahan hati, kami persembahkan doa, niat dan upaya kami kepada-Mu melalui Yesus Kristus, Putera-Mu, Tuhan dan Pengantara kami. Amin.

PA Wikrama Putra: Oase bagi Mereka yang Terlantar

Siang itu, beberapa balita bercengkerama dan berkejaran di teras depan. Suara cekikikan terdengar di sana sini. Cengkerama dan kejar-kejaran segera sirna tatkala ibu asuh mereka datang membawa roti untuk snack di siang itu. “Aku mau, aku mau,” kata beberapa dari mereka. Itulah secuil suasana di Panti Asuhan Wikrama Putra.

Wikrama Putra merupakan salah satu panti asuhan yang dikelola secara mandiri oleh awam Katolik. Kini telah ratusan anak yang telah ‘diluluskan’ dari panti yang beralamat di Jl Wismasari Selatan No 5, Ngaliyan, Semarang ini.
“Kehidupan Wikrama Putra saat ini tak bisa dilepaskan dari sosok lembut nan sosiawan, Pastor Mr HC Van Diense SJ, Arsts,” ungkap Al Untung Sudono, ketua Yayasan Sosial Wikrama Putra ini. Saat ditugaskan sebagai Pamong di kolese Loyola Semarang sekitar tahun 1968, imam yang juga dokter, sarjana hukum, dan arsitek ini, hatinya terusik oleh kehidupan anak-anak di sekitar kolese. Saat itu ada banyak anak yang terlantar dan tak punya tempat tinggal, akibat ditinggal orang tuanya korban peristiwa G30 PKI 1965.
 Oleh Pastor Diense, anak-anak ini dikumpulkan dari stasiun kereta api maupun terminal bis, di mana mereka tinggal. Bila hari ini ada lima anak dikumpulkan, namun esok hari tinggal satu atau dua anak saja. Yang lainnya sudah melarikan diri. Meski begitu, Pastor Dience tetap rajin mengumpulkan para anak gelandangan untuk ditampung. Mereka pelan-pelan diajari bagaimana cara bercocok tanam.
Kepedulian Pastor Diense, ia sampaikan kepada orang tuanya di negeri Belanda. Ibunya yang seorang dokter gigi, berusaha menyisihkan uang hasil praktek untuk karya anaknya. Uang yang dikumpulkan si Ibu itu digunakan untuk membeli tanah di daerah Ngaliyan, Semarang. “Dan akhirnya, jadilah panti asuhan seperti sekarang ini,” tutur Untung.
Dalam karya sosial ini, Pastor Dience tak sendirian. Ia melibatkan pula beberapa mahasiswa Katolik di Semarang. Salah satunya adalah Rm Sugondo SJ dan adiknya Untung.
Panti asuhan yang ia dirikan awalnya diberi nama ‘Do School’ atau sekolah kerja. Artinya, anak-anak terlantar yang ditampung itu dididik bagaimana cara bercocok tanam. Berkat ketekunan dan keuletannya beberapa anak sudah mahir bertani. Beberapa diantaranya ditransmigrasikan ke Pontianak untuk menggarap lahan di sana.

Misi
Tidur selalu dalam kebersamaan.
Nama ‘Wikrama Putra’ diambil dari dunia pewayangan. “Triwikrama Wisnu adalah tempat untuk penggodokan para ksatria,” tutur Yosef Emanuel Wiyono Permadi (72), bapak asrama yang telah turut mengelola panti ini. Sedangkan Putra berarti anak. Jadi Wikrama Putra berarti tempat penggodokan anak-anak yang tak mempunyai orang tua.
Misi utama Wikrama Putra adalah menyelamatkan nyawa bagi anak yang tersisih, tak berdaya, dan kecil. Artinya, anak-anak yang tak dikehendaki oleh orang tuanya, karena beberapa sebab. Oleh karena itu jangan heran, bila anak-anak di panti ini datang dari tangan polisi yang menemukan bayi yang dibuang, dari PSK, dari gereja, dll. “Kami siap menerima bayi siapapun, Jangan melakukan aborsi. Lebih baik berikan kepada kami,” himbau Untung.
Meski berlabel Katolik, namun dalam perjuangan dan usahanya para pengelola panti tak pernah minta bantuan finansial kepada pihak Gereja. Bantuan itu datang dengan sendirinya dari Tuhan melalui para donatur dan siapa saja yang tergerak membantu panti. Malah yang agak mengherankan, panti ini pernah didatangi Ustad Jerry Bukori. Ustad kondang ini berpesan kepada Untung, bahwa ia siap setiap saat bila dimintai bantuan.
Di awal usaha mendirikan panti, Pastor Dience ketika meminta restu pimpinan Gereja, ia dipesan agar tidak meminta bantuan dana kepada Gereja. Dan pesan itu hingga kini dipegang oleh para pengelola panti.  

Pendidikan anak
Saat ini ada 80 anak yang menghuni panti ini. Mulai dari mereka yang bayi hingga mereka yang duduk di bangku kuliah. Dan ada 6 pengasuh yang mendampingi mereka.
Belajar, makan, rekreasi, di ruang yang sama.
Wikrama Putra sendiri memiliki sekolah dasar yang diperuntukan bagi anak-anak panti dan anak-anak di luar panti yang tak kuat membayar uang sekolah. Sekolah itu bernama SD Pancasila yang terletak di Jl Raya Walisongo No 6, Jrakah, Semarang. Saat ini ada 127 siswa belajar di sini.
Setelah lulus SD, anak-anak panti biasanya belajar di SMP PL Mijen. “Baru setelah SMA atau SMK mereka memilih sekolah sesuai dengan pilihan mereka,” ungkap Wiyono.
Seluruh pekerjaan di panti, seperti menyapu, mengepel, membersihkan kamar mandi, dll. dilakukan oleh anak-anak panti. Setiap anak punya tugas dan jadwal tersendiri.
Selain, kerja harian dan belajar, anak-anak juga diajari berdoa. Di sini dibentuk pula kelompok doa. Seminggu sekali kelompok doa ini melakukan pertemuan untuk mendoakan siapa saja yang membutuhkan doa. Di kompleks panti kini telah ada sarana gua Maria dan kapel.
           “Jangan membuang anak sembarangan. Lebih baik serahkan kepada kami, kami siap mengasuhnya,” pesan para pengelola panti. (jhanto)
 Kontak: (024) 7600450