Sabtu, 07 Mei 2011

Pertapaan Rawaseneng: Hidup Dalam Puji-Pujian

Hujan membasahi bumi ketika Tim Salam Damai menapakan kaki di pelataran Pertapaan St Maria Rawaseneng, kecamatan Kandangan, kabupaten Temanggung. Udara dingin menyengat kulit. Keheningan alam pudar oleh desarnya hujan.

Tujuh kali sehari beribadat bersama.
Seorang pertapa muda, Fr Agustinus OCSO, yang berjubah dan bersandal jepit, menyambut kami dengan senyum dan jabat tangan hangat. Setelah berbincang sejenak, rahib (pertapa) muda itu mengajak Salam Damai untuk mengikuti Ibadat Sore, kala jarum jam menunjuk pukul 14.30.
Tatkala pintu kapel dibuka, sayup-sayup terdengar alunan kidung Gregorian. Hati terasa teduh serasa memasuki pelataran surgawi. Kidung Mazmur dilantunkan sahut menyahut oleh tiga puluh empat rahib, sore itu. Satu bagian di sebelah kanan, bagian lain di sebelah kiri, saling berhadapan; bagai Serafim dan Kerubim yang memuliakan Allah.
Ya, puja-puji itu seolah-olah mampu menembus dinding beku kapel, sealur dengan kertap dedaunan kopi, lenguh sapi peternakan, menjauh dan menyelubungi pepohonan pinus di sekitar pertapaan.
Pertapaan Rawaseneng yang terletak 14 km sebelah utara Temanggung ini, merupakan bentuk hidup kerahiban yang menjadi salah satu kekayaan Gereja Katolik, khususnya Keuskupan Agung Semarang. Para rahib di sini adalah anggota Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau sering disebut Ordo Trappist. Ordo ini menjalani kehidupan monastik (kerahiban) menurut Peraturan St Benediktus. Cikal bakal ordo dimulai dari desa kecil Citeaux, di Perancis, pada akhir abad ke-11.
Pertapaan Rawaseneng sendiri berdiri pada tanggal 1 April 1953. Rahib awali berasal dari komunitas OCSO Koningshoeven, Tilburg, Nederland. Ada empat rahib pionir (3 imam dan 1 bruder) yang memulai pertapaan ini.
Kini ada 34 rahib menghuni di sini, tujuh di antaranya adalah rahib imam. Pemimpin pertapaan ini disebut Abbas (Latin) artinya ‘bapak’ atau sering disebut Romo Abbas. Saat ini Romo Abbas dipangku oleh Aloysius  Gonzaga Rudiyat OCSO.
Hidup harian para rahib dilakoni dengan doa dan karya; ora et labora. Rutinitas pertapaan dimulai pukul 03.15 dini hari dengan bangun pagi. Tepat pukul 03.30 lonceng gereja berdentang pertanda Ibadat Bacaan dimulai. Selanjutnya meditasi, lectio divina, ibadat pagi, dan perayaan ekaristi, hingga pukul tujuh pagi.
Ada jeda satu jam untuk sarapan dan keperluan pribadi. Pukul delapan kumpul kembali di kapel untuk ibadat siang I. Antara pukul 08.30-11.30 merupakan saat untuk labora atau kerja. Ada yang di kebun, peternakan, kamar tamu, toko rohani, dapur, dll. masing-masing sesuai dengan tugasnya.
Tengah hari, pukul 12, kekasih-kekasih Kristus ini mengidungkan kembali pujian kepada Allah dalam ibadat siang II. Menyusul kemudian makan siang dan istirahat. Namun, pukul 14.30 suara rahib ini sudah menggema lagi sampai ke langit-langit rawaseneng, dalam ibadat sore. Ada waktu satu setengah jam ke depan untuk bekerja dan keperluan pribadi hingga pukul 16.30.
Lectio Divina atau bacaan rohani satu jam dan meditasi setengah jam dilakukan para rahib sampai saat makan malam pukul 18.20. Setelah itu bersama menutup aktivitas harian ini dengan ibadat penutup pada pukul 19.45. Selanjutnya, waktu pribadi dan beristirahat.
Semua aktivitas dilakukan dalam keheningan atau silensium. Tanpa kata, supaya hati tetap terarah kepada Sang Pencipta.
Jubah para rahib ini begitu khas. Jubah dasar berwarna putih. Di sebelah depan dan belakang dikenakan kain berwarna hitam yang melintang di bahu, mirip kasula, yang disebut Skapulir. Skapulir ini lambang perlindungan Bunda Maria, dan menjadi ciri busana kerahiban. Skapulir berasal dari kata Latin ‘Scapula’, yang artinya ‘bahu’. Di bagian leher skapulir terdapat kain tutup kepala yang digunakan saat meditasi.

Produksi
Tujuh ratus liter susu per hari.
Para rahib Rawaseneng memiliki beberapa karya yang khas, yaitu peternakan sapi, perkebunan susu, dan pengolahan keju. Saat ini setidaknya ada 150 ekor sapi yang dimiliki, 70 diantaranya untuk produksi susu. Sapi-sapi ini berasal dari Belanda dan Australia. Ada sekitar 700 liter susu dihasilkan dari peternakan ini. Pemerasan susu dilakukan pada pagi dan sore hari. Sebagian produksi susu dikirim ke para pelanggan, seperti rumah sakit, biara, atau keluarga-keluarga.
Masing-masing memiliki nama, ada yang Lidia, Elisabet, Fransiska, dll. Pemberian nama ini dilakukan untuk mengetahui silsilah keturunannya. Supaya tidak terjadi kawin campur sedarah atau seketurunan; hal ini untuk menghindari kualitas sapi yang dihasilkan.
Sebagian lagi diproduksi untuk pengolahan keju. Keju Rawaseneng terkenal berkualitas. Kualitasnya ditentukan oleh waktu pengolahan yang cukup panjang, yaitu sekitar 3-4 bulan. Keju ini menjadi bahan olahan campuran roti-roti rawaseneng, seperti kastengel.
Dari 178 hektar luas pertapaan, 100 hektar diantaranya untuk lahan perkebunan. Lahan ini untuk tanaman kopi, cengkeh, dan palawija lainnya. Lahan sisanya untuk hutan lindung.

Kunjungan
Genta penanda.
Saat Salam Damai berkunjung, sedang dilakukan proses renovasi kapel dan kamar penginapan tamu. Kini kapel menjadi lebih luas, terutama untuk bangku para tamu lebih banyak sehingga bisa menampung banyak umat yang datang.
Kamar penginapan bagi tamu yang ingin bermalam pun diperbanyak. “Rencananya 40 kamar lagi,” ungkap Fr Agustinus, bagian receptionis. Pengembangan ini dilakukan supaya dapat melayani umat yang datang secara lebih baik, imbuhnya.
Masih menurut Fr Agus, pertapaan terbuka untuk siapa saja, apapun agamanya. Pernah ada tamu dari umat Kristen, Islam, juga Hindu. Rawaseneng juga menerima tamu rombongan, asal tak lebih dari 20 orang. Namun, sebelumnya sebaik menghubungi dulu bagian receptionis, untuk menentukan ada tidaknya tempat.
Bagi yang berniat mengunjungi pertapaan, silakan kontak ke bagian tamu: 081328882028, antara jam 08.30-11.30 dan 15.00-16.30. (blk)

1 komentar:

  1. saya mau ke pertapaan rawa seneng..bisa berikan saya informsi singkat sekaligus contac number salah satu pater di sana

    BalasHapus